Penulis : M Fuad Nasar *
Baharuddin Lopa dalam bukunya Masalah-Masalah Politik, Hukum, Sosial Budaya dan Agama (1996) mengemukakan, ”Selama korupsi merajalela di suatu negeri, tidak mungkin dapat diwujudkan keadilan sosial di negeri itu.” Menurut Lopa bahwa keadilan sosial yang harus diperjuangkan ialah keadilan sosial yang bukan ditandai telah banyaknya orang-orang kaya, tetapi yang ditandai telah sedikitnya orang-orang miskin.
Korupsi sebagai masalah kronis bangsa bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi merugikan masyarakat dan merampas hak-hak rakyat atas kesejahteraannya. Begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo dalam Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) tahun 1993 mensinyalir tingkat kebocoran dana pembangunan di masa itu mencapai 30 persen.
Data Sumitro diperbarui dengan data INDEF yang disampaikan Didin S. Damanhuri akhir tahun 2024 bahwa kebocoran APBN mencapai hingga 40 persen. Guru Besar IPB University itu mengingatkan pemerintahan Kabinet Merah Putih agar efektif dalam pemanfaatan anggaran ke depan.
Pernyataan Sumitro tiga dekade yang lampau masih relevan dengan kondisi bangsa saat ini. Presiden Prabowo Subianto dalam beberapa kesempatan menyampaikan tekad untuk menghilangkan kemiskinan, memberantas korupsi, dan mengelola anggaran negara secara lebih efisien. Sewaktu peluncuran badan pengelola investasi Danantara (Daya Anagata Nusantara) tanggal 24 Februari 2025, Presiden menegaskan kembali komitmen untuk membangun suatu pemerintahan yang bersih, yang bebas dari korupsi. Saya akan melawan korupsi dengan sekeras-kerasnya dan dengan segala tenaga dan upaya yang bisa saya kerahkan tanpa pandang bulu, tegasnya.
Korupsi menjadi penyebab ekonomi biaya tinggi dan tidak efisiennya belanja pemerintah. Potensi kerugian negara akibat dugaan kasus korupsi yang terungkap di negara kita nilainya bukan lagi miliaran, tetapi ratusan triliun rupiah. Korupsi merupakan akar kemunduran segala sektor dan menciderai rasa keadilan. Betapa rasa keadilan terluka tatkala sebagian besar rakyat mesti bekerja keras untuk bertahan hidup, sedangkan koruptor begitu mudah mengumpulkan harta kekayaan secara tidak wajar dan melanggar hukum.
Kasus-kasus kejahatan ekonomi, seperti permainan harga dalam distribusi barang kebutuhan masyarakat, korupsi izin ekspor dan impor, pencarian rente dan sebagainya timbul akibat mental korup ingin meraup keuntungan tanpa malu dan tanpa menghiraukan kepentingan orang banyak.
Ditinjau dari sudut mana pun korupsi memiliki daya rusak dalam kehidupan bangsa. Resistensi hati nurani masyarakat terhadap perbuatan korupsi terungkap dari kalimat sarkasme; korupsi di atas meja, korupsi di bawah meja, dan mejanya sekalian dikorupsi. Korupsi, kolusi, nepotisme dan suap bukan sekadar masalah ekonomi dan keuangan, tapi masalah moral dan anomali budaya materialistik. Sebuah ungkapan menyatakan; korupsi terjadi karena bangsa ini sudah lupa bagaimana caranya hidup sederhana.
Sejauh ini orang masih percaya pada agama sebagai sumber kekuatan moral untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi. Gagasan Menteri Agama dalam pemberantasan korupsi menarik diperhatikan di tengah sengkarut masalah korupsi di negara kita yakni: penguatan peran agama dari mitos menjadi etos, menjadikan korupsi musuh bersama, jangan ambil yang bukan haknya, lahirkan generasi berprinsip dan jujur, serta pentingnya keteladanan.
Siapa saja yang benar-benar menghayati ajaran agama, apa pun agamanya, pasti tidak akan menghalalkan segala cara dalam mencari kekayaan dan kekuasaan. Norma-norma agama membatasi orang untuk tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya, apalagi merampas hak-hak masyarakat sebagai tindakan keserakahan.
Baru-baru ini Menteri Agama Nasaruddin Umar menerbitkan buku Teologi Korupsi. Ia mengungkapkan semua agama pada dasarnya memusuhi korupsi. Korupsi banyak diulas dalam Al-Quran, berbagai bentuk korupsi dan kecurangan pernah terjadi sejak masa para nabi.
Dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, sebetulnya selain pengetahuan mengenai benar dan salah, baik dan buruk, diperlukan kesadaran dan keberanian moral (moral courage) untuk mengikuti yang benar dan menjauhi yang salah. Sistem tata kelola birokrasi dan lingkungan masyarakat yang mengkultuskan simbol-simbol materi sangat mempengaruhi pertumbuhan korupsi.
Ibadah puasa (shiyam) Ramadhan memberikan sekurangnya empat pesan moral yang relevan dengan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi yaitu:
Pertama, puasa adalah latihan memperkuat kontrol diri dan mengendalikan keserakahan sebagai akar perbuatan korupsi. Seseorang yang memegang teguh pesan moral ibadah puasa, jangankan mengambil yang bukan haknya malahan terhadap sesuatu yang sudah menjadi haknya sangat hati-hati dan mengerti batas-batas kepatutannya.
Kedua, puasa adalah “imsak” yakni menahan makan, minum dan segala perbuatan yang membatalkannya di siang hari, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Imsak hakikatnya adalah latihan menahan diri dari perilaku “menerabas” sebagai penyebab “membudayanya” korupsi dalam berbagai bentuk.
Ketiga, puasa menanamkan rasa malu sebagai rambu-rambu agar tidak terjerumus pada perbuatan koruptif. Perasaan malu yang ditanamkan melalui ibadah puasa bukan sekadar malu kepada manusia, tetapi malu kepada Tuhan.
Keempat, puasa menggembleng manusia dengan sifat jujur dan ihsan karena pada akhirnya yang mengetahui masih puasa atau tidaknya seseorang hanyalah dirinya sendiri dan Allah. Puasa memperkuat kesadaran bahwa Allah Maha Melihat apa saja yang kita lakukan walau pun di tempat tersembunyi.
Ibadah puasa diharapkan dapat membentuk umat yang bersih, sekalipun di tengah medan yang berlumpur korupsi. Keberhasilan puasa membentuk manusia bersih, berintegritas dan antikorupsi adalah sumbangan nyata agama terhadap pembangunan bangsa, negara dan upaya merawat kemanusiaan.
*M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro pada UIN Imam Bonjol Padang)