Penulis : Ni Nyoman Ayu Suciartini
Apakah Bali akan menjadi pulau sampah? Apakah nasib TPA desa Temesi, Gianyar, Bali akan seperti tumpukan sampah di Bantar Gebang?
Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab lugas oleh anak-anak sekolah dasar negeri Guwang. Sebagian dari mereka masih duduk di kelas 3 dan 4 telah banyak memahami kondisi Bali yang darurat sampah. Mereka seolah akrab dengan sampah dan tahu cara berdamai dengan sampah.
Setiap pertanyaan dijawab dengan baik seakan mereka memiliki pengetahuan yang mumpuni terkait kekhawatiran manusia terkait sampah ini.
Di tengah pejabat, politisi, dan ruang-ruang kebijakan sibuk menyusun diskusi berkepanjangan, ternyata anak-anak SD Negeri 2 Guwang ini sudah mengimplementasikan senyatanya konsep Tri Hita Karana. Anak-anak ini memahami jika manusia ingin hak hidup tenang, damai, bersih, nyaman, maka manusia harus mengupayakan itu dan bersinergi dengan alam, manusia lain, juga Tuhannya.
Disadarkan dan dibantu oleh pendidik yang tak kalah ajaib, SD Negeri Guwang memperlakukan sampah dengan baik. Tak ada rasa jijik, kotor, sebab sampah adalah berkah, berkat yang bermanfaat apabila diperlakukan dengan bijak. Yang paling nyata dan menggugah dilakukan oleh anak-anak SD Guwang ini memiliki tebaa modern. Mereka belajar dari tutur leluhur bahwa alam semesta dan lingkungan ini telah menyiapkan berbagai solusi atas permasalahan. Tinggal manusia mengasah empatinya untuk dapat berbuat dan melakukannya.
Sejak ribuan tahun, Bali telah memiliki kearifan lokal dengan membuah sampah rumah tangga, sampah organik denegan memanfaatkan halaman pekarangan yang disebut tebaa. Sampah daun, kayu, sisa makanan, semua terurai kembali ke alam menjadi kompos yang menyuburkan tanah dan tanaman. Buah, sayur, dan biji akan gembur sebab siklus memang seharusnya terjadi demikian.
Wajib hukumnya bagi masyarakat Bali tempo dulu untuk menyisakan lahan sebagai tempat yang disebut tebaa ini. Masyarakat Bali tempo dulu sudah selesai dengan urusan sampah. Mereka membereskannya. Mereka bertanggung jawab atas sampahnya. Tak perlu banjar, kepala desa, bahkan pemerintah ikut campur soal sampah.
Namun, era kini, sampah justru hal yang belum dapat diselesaikan. Tak ada yang serius mengelola sampah. Tak ada yang benar-benar ingin mengakhiri sampah hingga membusuk dalam tumpukan.
Mungkin kehidupan zaman dahulu, manusia sangat berdamai dengan semesta. Tak ada sampah plastik, barang residu atau tumpukan pakaian bekas yang menggunung. Zaman dahulu, toh manusia bisa hidup tanpa adanya plastik. Tanpa adanya semua limbah itu. Inilah yang membedakan penanganan sampah tempo dulu dan hari ini yang sangat berbeda. manusia modern dan kebutuhan akan plastik sangat erat. Bahkan pemakaian plastik itu menjadi kebutuhan yang sulit untuk dihilangkan.
Masyarakat belum memiliki pengetahuan yang mumpuni terkait mengolah limbah plastik dan limbah lainnya.
Namun, pemakaian plastik, kaca, logam, dan lainnya ini tak bisa dikendalikan, sehingga menyebabkan sampah-sampah anorganik ini muncul tanpa tuan setiap harinya.
Tebaa, seperti yang diamanatkan leluhur zaman dulu, mengelola sisa makanan, daun kering untuk menjaga siklus, menggemburkan tanah untuk memberi yang lezat dan bergizi kembali pada yang manusia makan. Zaman berlalu, pola hidup berubah. Jangan sampai semakin maju peradaban justru manusia semakin tak memili daya untuk menghadapi persoalan sampahnya sendiri.
Teba dalam bahasa Bali merujuk halaman belakang, areal hijau yang biasanya dimiliki tiap rumah. Di masa lalu, warga membuang sampah ke teba yang biasanya ditanami pohon kebutuhan sehari-hari seperti pisang, bunga, dan kelapa. Namun, saat ini tak banyak rumah memiliki halaman yang luas itu. Pemukiman yang padat membuat tak banyak pilihan yang akhirnya ikut meniadakan tutur leluhur. Kalaupun masih ada, sampah yang dibuang ke teba jadi masalah baru karena tercampur dengan aneka plastik dan anorganik lain.
Mengahdapi sampah yang seolah menjadi persoalan klasik tak terpecahkan, terinspirasi oleh yang dilakukan anak-anak sekolah dasar Guwang, Gianyar, solusi teba berbasis kearifan lokal adalah hal paling mungkin untuk dapat hidup berdaulat dengan sampah. Sekolah ini terinspirasi dari desa Cemenggaon yang telah lebih dahulu mencetuskan tebaa modern sebagai solusi atas sampah.
Teba digunakan mengelola sampah mandiri, terutama material organik yang mendominasi jenis sampah di Bali. Sangat sederhana, namun efektif. Warga membuat lubang di areal rumah untuk penampung organik. Sisanya yang bisa didaur ulang ditabung di bank sampah, sedangkan yang tidak bisa didaur ulang jadi residu.
Tak heran, warga kini sudah tidak memerlukan jasa langganan angkut sampah. Bahkan bisa menabung sampah anorganik yang bisa dijual ke bank sampah. Sistem “teba modern” ini juga secara otomatis mendidik warga memilah sampah dan mampu mengidentifikasi yang tidak bisa didaur ulang seperti popok dan sachet multilayer.
Perjalanan dari rumah ke rumah warga menunjukkan ada berbagai model dan lokasi sumur komposter yang dibuat sesuai dengan kebutuhan tiap keluarga. Model terbanyak adalah sumur sedalam maksimal tiga meter, bentuknya bulat dengan diameter sekitar 80 cm atau ukuran buis beton. Namun hanya dua buah buis beton yang diletakkan paling atas. Sedangkan di bagian bawah tetap tanah untuk memudahkan ekosistem pengurai organik ini hidup dan bekerja menghancurkan material organik seperti daun dan sisa limbah dapur.
Lubang lebih dalam, sekitar tiga meter pernah dicoba, tapi sampah malah sulit terurai karena dugaannya mekanisme penguraian tidak optimal. Di bagian atas lubang diisi penutup dan lubang untuk mengeluarkan gas dan serangga penghancur. Ada yang tertanam sehingga rata dengan tanah. Ada juga yang di atas permukaan tanah, sehingga lubangnya di bagian bawah. Warga yang membuat menjulang di atas tanah menjadikan penutupnya sebagai meja untuk area duduk santai. Ada juga yang berbentuk kotak dan tertanam di dalam tanah.
Dampak signifikan adalah, sejak 2020, dusun ini tidak pakai jasa truk pengangkutan sampah lagi. Warga hemat biaya sampah Rp 30 ribu per bulan, dan semua warga malah menghasilkan dengan menabung sampah anorganik di bank sampah. BPS hanya menyiapkan satu pick-up per minggu untuk mengangkut residu limbah sulit didaur ulang. Ada juga dusun-dusun lain mengikuti sistem ini, namun tidak sebanyak warga di Cemenggoan. Setiap rumah tangga rata-rata menghasilkan sampah sekitar 4 kg per hari. Maka ada 1,2 ton sampah per hari. Dari jumlah itu, 70% organik dan jumlah ini mengurangi beban tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) atau tempat penampungan akhir sampah (TPA) secara signifikan. Residu diperkirakan sekitar 150 kg per minggu atau 600 kg per bulan, dominan popok sekali pakai. Selanjutnya ada sekitar 1,4 ton sampah plastik, botol, kertas, dan logam yang bisa didaur ulang.
Bergerak bersama guru-guru yang peduli, anak-anak SD Guwang juga memiliki tebaa modern sendiri. Mereka menghias dengan lukisan, warna-warni, ornamen-ornamen kecil pada tebaa modern yang dapat pula dijadikan meja tempat bersantai. Anak-anak duduk riang gembira di bawah rindang pohon. Menyantap bekal saat bel istirahat, menikmati camilan di atas tebaa. Sama sekali tidak ada bau menyengat dari sampah organik di bawahnya. Tak ada perasaan jijik atau kotor. Anak-anak ini telah diberdayakan sejak dini untuk peduli terhadap Bali dua puluh tahun atau lima puluh tahun lagi. Kepada mereka, warisan lingkungan yang bersih, sehat, damai, dan hak hidup tenang dan aman masih besar harapannya. Merekalah patriot desa Guwang. Dari sekolah mereka akan menuturkan ke rumah-rumah, ke lingkungan yang lebih luas, sehingga di Bali, setiap rumah bisa mewujudkan tebaa modern ini.
Apa yang menjadi tutur leluhur berbasis kearifan lokal belum tentu kalah mukjizat dengan pengetahuan-pengetahuan modern yang hadir era kini. Jika manusia sudah mengaku maju dan beradab, persoalan sampah seharusnya bukan perkara besar lagi. Nyatanya, kita masih berkutat dengan sampah. Merasa tidak berdaulat, merasa tidak adil karena beban sampah yang kita hasilkan sendiri.
Berguru pada anak-anak sekolah dasar Guwang, menjadikan sampah sebagai berkah, sebagai sahabat dan dapat bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan merupakan tindakan patriotic untuk menyelamatkan Bali di masa yang akan datang.