Oleh : Turhamun*
Kita sedang berdiri di senja 2025. Sejenak menoleh ke belakang, lembaran kalender tahun ini tidak hanya diisi oleh catatan pencapaian pribadi atau hingar-bingar politik, tetapi juga oleh catatan kelam bencana alam. Sepanjang 2025, kita menyaksikan bagaimana cuaca ekstrem tidak lagi menjadi tamu yang datang sesekali, melainkan penghuni tetap yang memorak-porandakan tatanan hidup. Banjir bandang yang datang tiba-tiba, kekeringan yang mencekik lahan pertanian, hingga kenaikan permukaan air laut di pesisir nusantara bukanlah sekadar fenomena meteorologi biasa.
Dalam perspektif eko-teologi, rentetan bencana ini adalah “jeritan” dari bumi yang selama ini diam namun kini mulai merintih. Bumi bukan sekadar benda mati; ia adalah organisme hidup yang diciptakan Tuhan dengan keseimbangan yang sangat presisi (Mizan). Ketika keseimbangan itu diganggu oleh tangan manusia, alam merespons dengan cara yang seringkali menyakitkan. Menyongsong 2026, kita ditantang untuk tidak hanya merayakan pergantian waktu, tetapi melakukan “revolusi kesadaran” terhadap posisi kita di atas hamparan tanah ciptaan Sang Khalik.
Syukur Transformatif, Bukan Sekadar Kata
Menutup 2025 dengan rasa syukur di tengah maraknya bencana alam mungkin terdengar kontradiktif. Namun, syukur dalam perspektif eko-teologi bukanlah syukur yang pasif atau sekadar ucapan bibir. Syukur di sini berarti menghargai sisa-sisa nafas kehidupan dan kesempatan yang masih diberikan Allah untuk memperbaiki keadaan.
Kita bersyukur karena di 2025, melalui guncangan bencana, kita disadarkan akan hakikat kemanusiaan kita yang fana. Allah seringkali menggunakan “bahasa bencana” untuk menegur kesombongan manusia yang merasa bisa menguasai alam sepenuhnya. Syukur transformatif menuntut kita untuk beralih dari pola pikir eksploitatif menuju pola pikir distributive bagaimana nikmat Tuhan ini bisa dirasakan bersama tanpa merusak sumbernya.
Relasi Alam, Tali yang Terputus
Selama ini, pendidikan agama kita seringkali terfokus secara vertikal pada Hablum Minallah (hubungan dengan Allah) dan secara horizontal pada Hablum Minannas (hubungan dengan sesama manusia). Namun, kita sering melupakan pilar ketiga: Hablum Minal Alam. Padahal, ketiganya adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Buya Hamka, dalam karya-karya tafsirnya yang mendalam, sering mengingatkan bahwa alam semesta adalah “Ayat Kauniyah” (tanda-tanda kebesaran Allah yang tidak tertulis). Beliau pernah berpesan:
“Tugas manusia bukanlah untuk menguasai alam dengan kesombongan, melainkan untuk membacanya sebagai tanda keagungan Tuhan. Orang yang merusak alam pada hakikatnya sedang merobek kitab suci yang Allah hamparkan di depannya.”
Pandangan Hamka ini menegaskan bahwa setiap pohon yang ditebang secara ilegal dan setiap sungai yang dicemari adalah bentuk penodaan terhadap kesucian agama. Jika Hablum Minal Alam rusak, maka keseimbangan hidup akan goyah. Ketimpangan ekologis di tahun 2025 adalah bukti nyata bahwa kita telah memutus tali hubungan ini, menganggap alam hanya sebagai komoditas, bukan sebagai sesama makhluk yang bertasbih kepada-Nya.
Bencana, Cermin Dosa Antroposentrisme
Fenomena bencana alam yang kian masif harus dibaca sebagai cermin dari dosa antroposentrisme sebuah paham yang menganggap manusia adalah pusat segalanya dan alam hanyalah pelayan bagi keserakahan kita. Al-Qur’an secara eksplisit menyebutkan dalam Surah Ar-Rum ayat 41 bahwa kerusakan di darat dan laut adalah hasil dari “tangan-tangan manusia”.
Di titik inilah kita perlu merenungkan pemikiran Gus Dur mengenai kemanusiaan dan keberagamaan. Gus Dur selalu menekankan bahwa agama harus membela yang lemah. Dalam konteks saat ini, “yang lemah” bukan hanya kaum miskin dan tertindas, tetapi juga alam yang sedang dieksploitasi. Gus Dur pernah berkata:
“Tidak penting apa pun agama atau sukunmu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak tanya apa agamamu.”
Pesan Gus Dur ini jika ditarik ke dalam ranah eko-teologi bermakna bahwa menjaga lingkungan adalah bentuk kebaikan universal yang melampaui sekat-sekat formalitas agama. Menyelamatkan hutan, menjaga air bersih, dan mengurangi emisi karbon adalah tindakan nyata dari keimanan yang memanusiakan manusia. Sebab, ketika lingkungan hancur, martabat manusia pun ikut luruh.
Menyongsong 2026, Jihad Ekologis dan Tobat Nasuha
Menuju 2026, kita tidak bisa lagi menggunakan cara-cara lama dalam memandang dunia. Kita membutuhkan apa yang disebut sebagai “Tobat Ekologis”. Tobat ini bukan hanya menyesal dalam doa, tapi mengubah gaya hidup secara total.
Restorasi Hablum Minallah: Memahami bahwa ketakwaan sejati di tahun 2026 harus dibuktikan dengan kepedulian pada ciptaan-Nya. Seorang hamba yang dekat dengan Allah mustahil menjadi musuh bagi alam.
Revitalisasi Hablum Minannas: Menyadari bahwa dampak krisis iklim adalah masalah keadilan sosial. Mereka yang kaya mengonsumsi lebih banyak, tetapi mereka yang miskin yang paling pertama tenggelam oleh banjir atau kelaparan karena kekeringan. Menjaga alam di tahun 2026 adalah bentuk solidaritas kemanusiaan.
Rekonsiliasi Hablum Minal Alam: Memulai aksi nyata di tingkat lokal. Sebagaimana pesan Rasulullah SAW, “Sekalipun kiamat akan terjadi besok, dan di tanganmu ada bibit pohon, maka tanamlah.” Ini adalah optimisme ekoteologis yang luar biasa.
Menanam Harapan di Sajadah Bumi
Tahun 2026 harus menjadi momentum bagi kita untuk menjadi “Khalifah” yang sesungguhnya sang penjaga taman kehidupan, bukan sang penghancur. Kita menutup buku tahun 2025 dengan kepala tertunduk, memohon ampun atas segala sampah yang kita tumpuk dan pohon yang kita biarkan tumbang.
Namun, kita membuka lembaran 2026 dengan punggung tegak dan tangan yang siap bekerja. Mari kita jadikan bumi ini kembali sebagai “Sajadah Besar” tempat kita bersujud. Sebagaimana ajaran Buya Hamka tentang kemuliaan budi dan semangat Gus Dur tentang pembelaan terhadap yang lemah, mari kita jemput tahun baru dengan janji: bahwa di bawah kepemimpinan kita sebagai manusia, alam akan kembali tersenyum, dan bencana akan perlahan mereda seiring dengan kembalinya kita ke jalan Tuhan yang lurus, jalan keseimbangan (Siratal Mustaqim yang ekologis).
Selamat mensyukuri 2025, selamat berjuang di 2026. Semoga Allah meridai setiap langkah kecil kita untuk menyembuhkan luka bumi.(Kemenag)
*Turhamun (Kapus Moderasi Beragama dan Pancasila UIN Saizu Purwokerto)




