• About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
  • Agama
    • Hadist
    • Al-Qur’an
  • Berita
    • Artikel
    • Makalah
  • Budaya
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
    • Prestasi
  • Infografis
    • Kegiatan
    • Istilah
    • Mutiara Hikmah
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Redaksi
No Result
View All Result
  • Agama
    • Hadist
    • Al-Qur’an
  • Berita
    • Artikel
    • Makalah
  • Budaya
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
    • Prestasi
  • Infografis
    • Kegiatan
    • Istilah
    • Mutiara Hikmah
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Redaksi
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Kolom

Membingkai Ulang Toleransi Beragama

by Liputan Inspirasi
3 August 2025
in Kolom
Membingkai Ulang Toleransi Beragama
Share on FacebookShare on Twitter

 

Penulis : Noorhaidi Hasan*

Dalam beberapa pekan terakhir, kekerasan atas nama agama kembali mencuat di sejumlah wilayah Indonesia. Pada 27 Juni 2025, sekelompok pelajar Kristen berusia 10 hingga 14 tahun mengadakan retret rohani di sebuah vila di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi. Vila tersebut, yang kerap digunakan untuk kegiatan serupa, berfungsi sebagai rumah doa dan tempat retret sementara. Namun, sejumlah warga setempat mengira vila itu difungsikan sebagai rumah ibadah permanen tanpa izin resmi, dan karenanya menolak kegiatan tersebut. Massa kemudian datang, merusak fasilitas vila, membongkar salib, memecahkan kaca jendela, dan menerobos masuk ke ruang doa di lantai dua. Seluruh peristiwa ini disaksikan langsung oleh anak-anak yang sedang mengikuti retret. Sebulan kemudian, kejadian serupa terjadi di Koto Tengah, Kota Padang. Sekelompok massa membubarkan kegiatan retret dan ibadah umat Kristen, bahkan merusak fasilitas tempat ibadah dengan memecahkan kaca jendela dan pintu.

Penolakan dan penyerangan terhadap aktivitas peribadatan kelompok tertentu kerap berakar pada kecurigaan sebagian masyarakat mayoritas terhadap ancaman perluasan pengaruh keagamaan dari kelompok yang sedang beribadah. Ada nuansa politis dan keagamaan yang berkelindan dengan persoalan ekonomi dan sosial di balik peristiwa tersebut. Alasan yang kerap dikemukakan berkisar pada persoalan legalitas administratif tempat ibadah—seperti tidak memiliki izin resmi atau belum mendapatkan persetujuan lingkungan. Ironisnya, tindakan persekusi ini sering dibungkus dengan dalih menjaga “toleransi” atau ketertiban masyarakat.

Melihat terus terulangnya kasus-kasus seperti ini, sudah saatnya kita meninjau ulang cara memahami dan mempraktikkan toleransi beragama di Indonesia. Toleransi seharusnya tidak dimaknai sekadar sebagai bentuk pembiaran terhadap yang berbeda, melainkan sebagai pengakuan penuh atas hak setiap warga negara—apa pun agama atau kepercayaannya—untuk beribadah dan hidup damai di tanah air ini. Hak tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari semangat Bhinneka Tunggal Ika, nilai-nilai luhur Pancasila, serta prinsip-prinsip dasar konstitusi yang menjamin kebebasan beragama bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dari Toleransi ke Kewarganegaraan Setara

Selama ini, istilah toleransi sering kali dimaknai secara sempit dan pasif—seolah-olah kelompok mayoritas memiliki hak istimewa untuk “mengizinkan” kelompok minoritas menjalankan keyakinannya. Toleransi semacam ini menempatkan relasi antaragama dalam kerangka kekuasaan yang timpang: yang kuat memberi ruang, yang lemah bergantung pada kemurahan hati. Padahal, kerangka berbangsa dan bernegara kita telah meletakkan fondasi yang jauh lebih progresif dan setara.

Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah menurut keyakinannya. Ini bukan hak yang diberikan oleh komunitas tertentu kepada komunitas lain, melainkan hak asasi yang melekat secara konstitusional pada setiap individu sebagai warga negara. Maka, kebebasan beragama dan beribadah bukanlah hadiah, bukan pula belas kasihan, melainkan bagian dari martabat kewarganegaraan.

Dalam konteks ini, sudah saatnya kita melampaui narasi “toleransi” menuju paradigma baru: kewarganegaraan beragama yang setara (equal religious citizenship). Artinya, semua warga negara, apa pun agamanya, memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan negara dalam hal menjalankan keyakinan mereka. Kesetaraan ini tidak hanya bermakna formal, tetapi juga harus diwujudkan dalam praktik sosial dan kebijakan publik—dari akses terhadap rumah ibadah, perlindungan hukum, hingga representasi dalam ruang-ruang pengambilan keputusan.

Salah satu isu krusial yang sering menjadi alasan penolakan terhadap rumah ibadah—khususnya bagi kelompok minoritas—adalah masalah izin pendirian, terutama yang diatur dalam SKB 2 Menteri tahun 2006. Tapi mari kita jernihkan: regulasi administratif bukanlah alasan untuk membatasi hak konstitusional. Jika ada masalah dalam proses perizinan, seharusnya diselesaikan lewat mekanisme hukum dan mediasi, bukan dengan tekanan massa, intimidasi atau kekerasan. Justru pemerintah dan aparat harus memastikan bahwa regulasi ini digunakan untuk memfasilitasi, bukan menghalangi kebebasan beragama.

Dalam hal ini, pemerintah dan aparat penegak hukum perlu menegaskan keberpihakan mereka kepada keadilan substantif. Regulasi, termasuk SKB 2 Menteri, semestinya berfungsi untuk memfasilitasi praktik keagamaan yang aman dan damai, bukan untuk mempersulit atau menjustifikasi eksklusi terhadap kelompok tertentu.

Menggeser cara pandang kita dari “toleransi” menuju “kewarganegaraan beragama yang setara” bukan hanya persoalan semantik—ini adalah agenda politik dan etik yang mendasar. Kita sedang ditantang untuk membangun tata kehidupan berbangsa yang tidak hanya damai secara permukaan, tetapi juga adil dalam struktur. Dan keadilan itu hanya akan tercapai ketika setiap orang, tanpa memandang agama atau identitasnya, merasa diakui, dilindungi, dan dihormati sebagai warga negara sepenuhnya.

Membangun Keadaban Beragama

Lebih dari itu, sudah saatnya kita melampaui narasi “toleransi” yang seringkali bersifat pasif dan hierarkis, menuju konsep yang lebih substantif dan transformatif: keadaban beragama. Toleransi dalam bentuknya yang paling dasar hanya menuntut kita untuk “membiarkan” keberadaan yang berbeda. Tetapi dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, itu tidak lagi cukup. Kita perlu mengembangkan sikap aktif—yakni menghormati, melindungi, dan merawat hak-hak beragama setiap warga negara secara setara, tanpa prasangka atau superioritas kelompok.

Keadaban beragama adalah fondasi dari hidup bersama dalam keberagaman. Ia menuntut sikap saling menjaga, bukan sekadar saling menahan diri. Artinya, kita tidak hanya berhenti pada tidak melakukan kekerasan, tetapi juga berani mengambil sikap ketika kelompok lain dilecehkan, dimarjinalkan, atau diintimidasi karena keyakinannya. Ini adalah bentuk tanggung jawab moral dan kewargaan yang mendalam.

Nilai keadaban ini sesungguhnya telah mengakar kuat dalam khazanah budaya lokal kita. Tradisi pela gandong di Maluku mengajarkan ikatan persaudaraan lintas agama sebagai warisan leluhur. Menyama braya di Bali menekankan pada relasi antarumat yang berlandaskan kesetaraan dan solidaritas sosial. Sementara gotong royong dalam budaya Jawa dan Nusantara secara umum merupakan ekspresi nyata dari kerja sama lintas batas identitas. Semua ini membuktikan bahwa Indonesia memiliki sumber daya budaya yang kaya untuk menjadi fondasi etik bagi kehidupan beragama yang beradab.

Namun, agar keadaban ini tidak hanya menjadi wacana normatif, dibutuhkan strategi yang lebih mendalam, terstruktur, dan berjangka panjang—terutama melalui pendidikan. Di sinilah relevansi dari kurikulum cinta yang digagas oleh Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar menemukan momentumnya. Kurikulum ini tidak sekadar memuat pelajaran agama dalam arti doktrinal, tetapi mengembangkan pendidikan yang berpusat pada nilai-nilai empati, kasih sayang, kepedulian sosial, dan penghormatan terhadap perbedaan.

Pendidikan semacam ini penting bukan hanya untuk mencegah intoleransi, tetapi untuk menanamkan sejak dini cara berpikir dan merasa yang membentuk karakter warga yang siap hidup dalam masyarakat plural. Kurikulum cinta harus menjadi landasan dalam berbagai tingkatan pendidikan—baik formal di sekolah dan madrasah, maupun informal di rumah, pesantren, tempat ibadah, dan ruang-ruang komunitas.

Dengan demikian, membangun keadaban beragama tidak cukup dilakukan melalui regulasi atau seruan moral semata. Ia harus menjadi bagian dari desain kebudayaan yang disadari bersama, ditanamkan secara sistematis, dan dilatih dalam praktik hidup sehari-hari. Hanya dengan cara itulah Indonesia bisa menjadi bangsa yang tidak hanya toleran, tetapi benar-benar beradab dalam keberagamannya.

Menjaga Rumah Ibadah adalah Menjaga Keutuhan Bangsa

Serangan terhadap rumah ibadah bukan semata persoalan keagamaan. Ia mencerminkan ancaman serius terhadap keutuhan nasional, stabilitas sosial, dan martabat kemanusiaan. Ketika ruang-ruang suci yang seharusnya menjadi tempat berlindung, berdoa, dan merenung justru diserang, yang dipertaruhkan bukan hanya keselamatan kelompok tertentu, melainkan juga komitmen bersama sebagai bangsa yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebhinekaan.

Tindakan semacam ini tidak boleh disederhanakan sebagai “konflik warga” atau “kesalahpahaman administratif.” Pendekatan seperti itu berisiko menormalkan kekerasan dan mengabaikan akar persoalan intoleransi yang sistemik. Serangan terhadap rumah ibadah harus diperlakukan sebagai pelanggaran hukum serius, bahkan sebagai bentuk ancaman terhadap tatanan konstitusional yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi seluruh warga negara.

Dalam konteks ini, negara dituntut untuk hadir secara tegas dan tidak ambigu. Pemerintah, aparat penegak hukum, tokoh agama, dan masyarakat sipil harus membentuk barisan yang kokoh dalam menjaga ruang-ruang ibadah dari segala bentuk intimidasi, persekusi, dan diskriminasi. Negara tidak boleh bersikap ragu atau netral dalam menghadapi pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional warga. Keberpihakan pada keadilan, perlindungan minoritas, dan penegakan hukum yang adil adalah bagian dari mandat demokrasi yang harus dijalankan secara konsisten.

Di tengah meningkatnya dinamika sosial dan keragaman ekspresi keagamaan, penting bagi semua elemen bangsa untuk menyadari bahwa menjaga rumah ibadah berarti menjaga fondasi peradaban. Di sanalah nilai-nilai kasih, damai, dan penghormatan terhadap sesama seharusnya tumbuh dan mengakar. Mengabaikannya berarti membuka jalan bagi polarisasi yang lebih dalam dan ketidakpercayaan yang makin meluas di tengah masyarakat.

*Noorhaidi Hasan adalah Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Previous Post

Pemkab Bojonegoro Bersama LPPM Unigoro Wujudkan 76 Unit IPAH

Recent News

Membingkai Ulang Toleransi Beragama

Membingkai Ulang Toleransi Beragama

3 August 2025
Pemkab Bojonegoro Bersama LPPM Unigoro Wujudkan 76 Unit IPAH

Pemkab Bojonegoro Bersama LPPM Unigoro Wujudkan 76 Unit IPAH

2 August 2025
Komitmen Dua Kepala Daerah Sinergi Kembangkan Wisata

Komitmen Dua Kepala Daerah Sinergi Kembangkan Wisata

2 August 2025
Belum Dua Tahun, Lamiran, M.Pd Antarkan SMAN 3 Sidoarjo Peroleh 252 Prestasi

Belum Dua Tahun, Lamiran, M.Pd Antarkan SMAN 3 Sidoarjo Peroleh 252 Prestasi

1 August 2025

Stay Connected test

  • 23.9k Followers
  • 99 Subscribers

Browse by Category

  • Agama
  • Artikel
  • Berita
  • Budaya
  • Hadist
  • Infografis
  • Kegiatan
  • Kesehatan
  • Kisah Inspiratif
  • Kolom
  • Liputan
  • Olahraga
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Prestasi
  • Profil
  • Redaksi
  • Seni-Budaya
  • Tokoh
https://scienceenterprises.com/
https://space-ms.com/
https://aks-corp.com/
https://churchofelduce.com/
https://ka-bloom.org/
https://360tvdigital.com/
https://slatinoff.org/
https://88daysdocumentary.com/
https://mediavengers.com/
https://highseasfilm.com/
https://yellowribbonbooks.com/
https://kosmetyki-mineralne.com/
https://elpasoblanco.org/
https://homestylediary.com/
https://area-information.net/
https://boost2020.com/
https://citizenjanemovie.com/
https://zone-vx.com/
https://apkdigit.com/
https://supercarthailand.com/
https://skeletoncandles.com/
https://umhs-community.org/
https://aandbstories.com/
https://aeciodeverdade.com/
https://dosagardenny.com/
https://hotel-villadelisle.com/
https://howtodrivers.com/
https://kazzanyc.com/
https://markeyforcongress.com/
https://naturalhazards.org/
https://restaurantmarketingblog.com/
https://tudoparablogs.com/
https://indonesiabertanam.com/
https://gen22.net/
https://scientificfederation.com/
https://diarioleonense.com/
https://wingvote.com/
https://cheersjess.com/
Slot Thailand
https://gazebobkk.com/
https://xuperblog.com/
https://jongmee.com/
https://rentcarua.com/
https://tudorchoir.org/
https://tudorchoir.org/
https://tabanan.tabanankab.go.id/wp-includes/s777/
https://esptpd.pasuruankota.go.id/public/img/assets/

  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Agama
    • Al-Qur’an
    • Hadist
  • Berita
    • Artikel
    • Makalah
  • Budaya
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
    • Prestasi
  • Infografis
    • Kegiatan
    • Istilah
    • Mutiara Hikmah
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Redaksi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?