LIPUTANINSPIRASI, Mojokerto— Usai ratusan Waka Kesiswaan dan Waka Kurikulum dari 50 perwakilan SMP Negeri dan Swasta dibekali tentang Sekolah Toleransi. Kegiatan yang digagas oleh Komunitas Seni Budaya BrangWetan dan Dikbud Sidoarjo, kini giliran para siswanya, masing-masing sekolah diwakili dua siswa dan satu guru pendamping untuk dijadikan sebagai Satgas Toleransi.
Mereka digembleng dipersiapkan untuk menjadi Satgas Toleransi bertemakan “Pembentukan Satgas Toleransi dan Pelatihan Penyusunan Program Kegiatan Pengembangan Toleransi di Sekolah” selama dua hari, tepatnya tanggal 30 dan 31 Januari 2024 di Hotel Arayanna Trawas Mojokerto.
Prosesi pembukaan dilakukan oleh Kepala Dikbud Sidoarjo Dr. Tirto Adi, M.Pd dengan didampingi Ketua Komunitas Seni Budaya BrangWetan, Henri Nurcahyo serta menghadirkan para pemateri Hernik Farisia dari UIN Sunan Ampel Surabaya.
Tirto Adi berpesan kepada para peserta agar bisa memanfaatkan kegiatan ini dengan sebaik-baiknya. Karena peserta ini adalah siswa-siswa pilihan, tidak semua siswa bisa terpilih dalam pembekalah tersebut. “Oleh karena itu saya berharap, para siswa yang terpilih ini menjadi motor penggerak pengembangan toleransi di sekolahnya masing-masing,” harap Tirto Adi.
Kepala Dikbud, Kepala Komunitas Seni Budaya BrangWetan dan pemateri serta para peserta foto bersama usai pembukaan
Henri Nurcahyo, Ketua Komunitas BrangWetan dan sekaligus Project Manager Cinta Budaya Cinta Tanah Air (CBCTA) #3 menambahkan, kalau target acara ini adalah siswa dapat menyusun program pencegahan dan mengatasi masalah intoleransi, dan perundungan di sekolah masing-masing. “Caranya mereka dibentuk sebagai Satgas Toleransi,” tambahnya.
“Program CBCTA ini sudah berlangsung sejak tahun 2020 dan telah menghasilkan 3 SMP Toleransi dan 1 SMA serta 1 MA. Pada akhir program CBCTA #3 nanti akan dideklarasikan 50 SMP Toleransi di Sidoarjo yang merupakan Sekolah Toleransi terbanyak di Indonesia,” ucap Henri Nurcahyo.
Menurut, Hernik Farisia, para siswa dapat menjadi agen toleransi dan perubahan untuk mewujudkan toleransi di sekolah. Riset global menunjukkan bahwa siswa memiliki pengaruh yang besar dalam menghentikan kekerasan, khususnya dalam konteks kekerasan antarsiswa di sekolah. Para siswa dapat memberikan pengaruh lebih pada iklim sekolah dan norma sosial. “Dan salah satu bagian yang harus dikuatkan untuk pengembangan budaya toleransi adalah adanya nir-kekerasan,” terangnya.
Hernik juga berharap peserta memiliki persamaan pemahaman tentang toleransi. Juga dapat mengidentifikasi hal-hal yang masuk indikator perundungan. “Serta memiliki persamaan pemahaman terkait upaya pencegahan intoleransi dan perundungan di sekolah,” harapnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, siswa SMP masih tergolong kategori anak-anak karena masih berusia di bawah 18 tahun, sehingga diperlukan perlindungan anak dalam pengembangan budaya toleran di sekolah. Anak memiliki hak untuk dilindungi dan hak-haknya dilindungi negara. “Setiap bentuk kekerasan yang dialami anak akan berdampak terhadap pertumbuhannya. Namun dalam saat yang sama setiap orang, termasuk anak-anak, juga memiliki potensi melakukan kekerasan,” jelas Hernik.
Bentuk-bentuk kekerasan yang populer selama ini adalah bullying (perundungan). Bullying dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk mengejek nama, mengucilkan, menjahili, mengancam, memukul, meludah, menendang, rasisme, mencuri atau merusak barang, serta melakukan sentuhan yang tidak diinginkan atau pelecehan seksual. Hal ini membuat orang merasa takut, sedih, atau marah.
“Karena itulah maka budaya toleran perlu dikembangkan di sekolah salah satunya dengan mencegah adanya perundungan di sekolah. Pencegahan kekerasan di kalangan teman sebaya berfokus pada upaya membangun iklim yang aman di sekolah dengan mengaktivasi peran siswa sebagai Agen Berpengaruh atau Agen Perubahan,” tegas Hernik dalam materinya yang berjudul “Pelatihan Penguatan Toleransi Siswa: Program Anti Perundungan.(mad/Aba)