LIPUTANINSPIRASI, Pasuruan— Kasus intoleransi di Indonesia mengalami peningkatan cukup drastis. Data dari Direktorat Sosial Budaya Badan Intelejen dan Keamanan Polri menyebutkan bahwa dalam tahun 2023 terjadi 30 kasus intoleransi di Indonesia.
Merupakan angka yang tertinggi sejak tahun 2019 yang hanya sebanyak 7 kasus, 14 kasus, dan sempat turun drastis hanya 3 kasus. Karena itu para Kepala Sekolah, Guru, dan juga siswa harus ‘saiyeg saeko proyo’ (merapatkan barisan) mencegah agar kasus intoleransi tidak meningkat lagi, khususnya ada di lingkungan sekolah.
Melihat kondisi tersebut, Komunitas Seni Budaya BrangWetan bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Sidoarjo menggelar FGD (Forum Group Discussion) untuk mewujudkan Sekolah Toleransi.
Prosesi pembukaannya dilakukan langsung oleh Kepala Dikbud Kabupaten Sidoarjo, Dr. Tirto Adi, M.Pd, dengan didampingi Ketua Komunitas Seni Budaya BrangWetan Henry Nurcahyo, pada Rabu (10/1/2024) di Hotel Tanjung Plaza, Tretes, Kab. Pasuruan.
Tirto Adi menyampaikan, bahwa angka kekerasan di Indonesia juga melompat jauh selama 11 bulan, sejak Januari hingga November 2023. Dari 15.120 kasus, 60 persen berupa kekerasan seksual dan 40 persennya berupa kekerasan fisik. “Ironisnya, sumber kekerasan ini justru berasal dari orang-orang terdekat, yaitu orang tua, guru, dan juga teman bermain sendiri,” sampainya.
Ketua Komunitas BrangWetan, Henri Nurcahyo, menyampaikan bahwa para stake holders (pemangku kebijakan) pendidikan yang terlibat dalam acara ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran untuk merumuskan dan mewujudkan Sekolah Toleransi di Kabupaten Sidoarjo.
Mereka terdiri dari DPRD Kabupaten Sidoarjo, Dewan Pendidikan, Pengawas SMP, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Sekolah SMP, dan Guru yang dihadirkan dalam acara. “Juga sekolah penerima manfaat dalam program ini adalah 50 SMP di Sidoarjo yang terdiri dari 44 SMP Negeri dan 6 SMP Swasta,” katanya.
Program Sekolah Toleransi ini sudah berjalan mulai tahun 2023, yakni SMPN 1 Taman, SMPN 1 Waru, dan SMPN 1 Gedangan. “Kali ini ketiga SMPN tersebut akan diibatkan sebagai mentor dan sekolah percontohan bagi SMP lainnya,” tutur Henri Nurcahyo, yang juga Project Manager CBCTA #3.
Dari FGD ini, hasil yang diharapkan munculnya indikator Sekolah Toleransi di jenjang sekolah tingkat SMP di 50 sekolah mitra. “Adanya masukan dari stakeholders pendidikan untuk menuju Sekolah Toleransi. Terumuskannya gambaran rencana kegiatannya. Munculnya ide dan gagasan pelaksanaan kegiatan pengembangan toleransi di sekolah selama delapan bulan di sekolah mitra,” harap Henri.
“Dan yang penting, ada masukan tentang model Sekolah Toleransi yang dapat diimplementasikan di Kabupaten Sidoarjo,” ujarnya.
Sementara itu, Kamis (11/1/24) juga akan diselenggarakan Learning Event Model Pengembangan Toleransi di Sekolah. Dalam acara ini diharapkan sudah dapat menyusun tim dan pembagian peran guru penggerak dalam pengembangan toleransi. Serta adanya peran dari masing-masing stakeholders dalam pengembangan sekolah toleransi di SMP.
Pada kesempatan hari Kamis ini SMPN 1 Taman, SMPN 1 Waru, dan SMPN 1 Gedangan, akan berbagi pengalaman perihal apa saja yang mereka lakukan dalam program Sekolah Toleransi sejak satu tahun terakhir ini.
“Perlu diketahui bahwa penetapan Sekolah Toleransi yang sudah ada sekarang ini bukanlah sebuah program top down yang ditunjuk dari atas, melainkan sudah mendapatkan dampingan dari Komunitas BrangWetan sejak tahun 2020 hingga pertengahan tahun 2023,” pungkas Henri Nurcahyo.(hum/mad/Aba)