Penulis : DR. Sholehuddin, M.Pd.I *
LIPUTANINSPIRASI ,Idul Fitri tahun ini berbeda hari dan tanggal masehi. Jika Muhammadiyah sudah mengikhbarkan 1 Syawal 1444 H jatuh pada Jumat, 21 Maret 2023, namun NU dan pemerintah memutuskan pada Sabtu, 22 April 2023.
Ormas Islam sudah lama mengalami perbedaan dan tidak hanya Muhammadiyah saja yang pernah berbeda dengan keputusan pemerintah, NU pada tahun 1992 juga pernah berbeda dengan keputusan pemerintah dalam merayakan Idul Fitri. NU lebih dulu, sementara Muhammadiyah dan pemerintah menyusul.
Perbedaan tanggal masehi 1 Syawal sempat menjadi bahan diskusi publik di dunia maya. Dua sampai 3 hari jelang hari raya sempat menjadi viral. Para ahli astronomi juga menjelaskan secara ilmiah mengapa terjadi perbedaan. Antar tokoh sempat saling menyindir. Sempat ada larangan dari beberapa pemda penggunaan lapangan untuk salat Id. Yang agak keras, ada usulan sidang itsbat ditiadakan.
Beruntung, Gus Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas cepat tanggap segera keluarkan statemen untuk meredakan ketegangan.
Jika dianalisis menggunakan teori gunung es (ice berg), perbedaan hari raya yang sempat menjadi perdebatan itu sudah masuk lapisan trend, lapisan penopang permukaan gunung es. Sindiran antar tokoh dan komentar netizen sudah mewarnai dunia jagat maya. Diakui atau tidak, polarisasi sempat terjadi antara NU dan Muhammadiyah.
Ketegangan tidak berlarut. Tingkat kedewasaan masyarakat akar rumput sudah tinggi, sehingga tidak sampai terjadi gesekan horizontal. Teman-teman Muhammadiyah yang menggelar shalat id tanggal 21 April bisa melaksanakan dengan khusyu’ tanpa gangguan dan merasa menang karena mendahului. Begitu pula yang ikut pemerintah dan mayoritas warga Nahdlatul Ulama (NU) pada 22 April juga bisa melaksanakan salat id tanpa merasa menang-menangan karena mayoritas.
Dinamika perbedaan tanggal hari raya menjadi tantangan dalam sikap keberagamaan di Indonesia. Diperlukan sikap kedewasaan dan saling menghargai perbedaan. Yang membanggakan, kita bisa melewati itu semua. Antara warga NU dan Muhammadiyah tetap merayakan lebaran dengan enjoy.
Terlepasnya masyarakat dari jebakan trend dalam teori ice berg tidak lepas dari makin menguatnya nilai-nilai moderasi beragama (MB) di kalangan umat beragama. Pertama, taat konstitusi. Sidang isbat Kemenag sejatinya menunjukkan hadirnya negara dalam agama, bukan intervensi pemerintah terhadap kebebasan beragama. Negara pun tidak memaksa kepada umat beragama untuk mengikuti ketatapan resmi karena itu wilayah internum.
Kedua, toleransi. Sikap toleransi dengan menghormati perbedaan, memberikan kesempatan kepada orang yang berbeda untuk menjalankan agamanya. Di sebuah daerah ada Banser menjaga salat Id pada Jumat, 21 April. Sementara di Gereja Katedral Jakarta yang bersebelahan dengan Masjid Istiqlal tampak para biarawati menyambut jamaah muslim yang salat di halaman gereja karena jamaah meluber.
Ketiga, anti kekerasan. Meski sempat terjadj ketegangan di kalangan elit, namun tidak demikian di akar rumput (gtassroot). Masyarakat kecil justru menikmati perbedaan. Di kampung saya tetap unjung unjung antara yang ikut 21/4 dan 22/4. Mereka acuh dengan hiruk pikuk di jagat maya.
Keempat, menghormati tradisi. Diakui atau tidak, Idul Fitri penuh dengan tradisi lokal (local wisdom). Setiap daerah berbeda dalam menyambut Idul fitri. Mudik misalnya sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia. Unjung-unjung, makanan khas, saling memberi hadiah maupun angpao merupakan budaya lokal yang bisa mempererat persaudaraan.
Keempat nilai tersebut merupakan indikator MB. Sesuai dengan konsep MB yaitu “Cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama
dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama – yang melindungi
martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum – berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa”.
Lebaran tahun ini memang banyak keunikan dan penuh dinamika. Maka secara positif, dinamika itu menjadi bagian dari ujian kedewasaan umat beragama dalam menyikapi perbedaan.
Hikmah yang bisa diambil adalah umat beragama semakin cerdas dalam menyikapi perbedaan. Mereka lebih mengedepakan kesamaan ketimbang perbedaan.
Umat beragama lebih mementingkan esensinya dari pada simbol-simbol. Tanggal 21 dan 22 hanyalah angka simbolik, tetapi esensinya 1 Syawal. Mereka lebih mengutamakan tujuan dari pada cara. Tujuan yang dimaksud adalah kembalinya fitrah (Idul Fitri) manusia. Kesadaran umat ini penting terus dirawat sekaligus sebagai modal untuk menjadi sebuah bangsa yang besar dan berperadaban.
“Selamat Idul Fitri 1444 H. Mohon maaf lahir dan batin”. (*/isnusda)
Sumber:
*) https://isnusidoarjo.org/2023/04/lebaran-dan-moderasi-beragama/
*) Penulis adalah Ketua Pimpinan Cabang ISNU Sidoarjo dan Instruktur Nasional Penguatan Moderasi Beragama.